Dalam konteks ASEAN, KTT Ke-18 memiliki arti penting
bilamana petinggi ASEAN berhasil mengambil keputusan-keputusan bersama guna
mendorong penyelesaian tuntas atas berbagai masalah serius yang tengah dihadapi
bersama. Misalnya pelaksanaan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) dan
konflik (perang) Thailand-Kamboja yang dipicu masalah perbatasan wilayah kedua
negara.
Kalah
bersaing, kenyataannya pelaksanaan ACFTA selama hampir 18 bulan terakhir lebih
cenderung menimbulkan problem serius ketimbang menjadi bagian solusi persoalan
ekonomi sebagian anggota ASEAN yang tidak siap penuh menyambutnya, semisal
Indonesia. Membanjirnya beragam produk Tiongkok di Indonesia, seiring
pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas itu berdampak negatif bagi sejumlah
produk di tanah air.
Produk
furnitur, tekstil, garmen, sepatu, dan barang-barang rumah tangga kita terdesak
di pasar domestik akibat serbuan barang serupa asal Tiongkok. Kalangan pengusaha
garmen, tekstil, perabot rumah tangga, dan furnitur Indonesia menjerit karena
kalah bersaing di rumah sendiri dengan pengusaha Tiongkok yang produk-produknya
membanjiri pasar kita.
Perekonomian China
memang sedang pada fase yang stabil dan terus berkembang. Kini sebagian besar
mata dunia tertuju pada China. Dimulai pada awal era 1980-an
China mengalami tidak kurang daripada
keajaiban ekonomi. Namun
saat ini China merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi
terbesar di dunia. Dengan GDP sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan
pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya.
Para investor
keuangan dunia melihat bahwa perekonomian China masih menjanjikan memberikan
penghasilan yang tinggi terhadap investasi keuangan jangka pendek yang mereka
tanamkan. Sektor riil perekonomian China masih mampu menopang pertumbuhan
sektor keuangan. Terbukti bahwa dana jangka pendek mengalir deras ke China.
Neraca perdagangan dan neraca modal China terus mengalami surplus yang sangat
positif.
Bisnis
China pun berkembang di banyak sektor. Ekspansi ke banyak negara selalu menjadi
agenda rutin China untuk menambah lahan investasinya. Aspek
terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem
terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa China
yang khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi
baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran China
sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah
mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia),
pasar terbesar dunia, China selalu akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga.
Sejalan
dengan perkembangan ekonomi dan bisnisnya, kini China semakin melangakah mantap
dengan adanya perjanjian China-Asean Free
Trade Agreement (CAFTA). China semakin mempunyai kesempatan lebar untuk
mengepakkan perekonomian dan bisnisnya menjadi yang tereksis di dunia. Sebelum
adanya CAFTA, perekonomian ASEAN didominasi oleh kekuatan ekonomi dari negara
maju dan negara besar seperti Singapura, Malaysia, Thailand, juga Indonesia.
Itulah AFTA, hanya negara-negara di kawasan ASEAN saja yang bermain dan
berperan. Indonesia pun menjadi salah satu kekuatan yang mempunyai pengaruh
cukup besar mengingat struktur dan pertumbuhan ekonominya merupakan yang cukup
kuat di ASEAN.
Berawal
dari AFTA sebenarnya perbaikan serta prospek perdagangan dan ekonomi kawasan
ASEAN akan mulai diformulasikan pada sistem yang lebih siap lagi dalam
menghadapi tantangan ekonomi global. Meningkatkan daya saing ASEAN sebagai
basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan
bea dan halangan non-bea dalam ASEAN
serta menarik investasi asing langsung ke ASEAN adalah
langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan itu. Mekanisme utama untuk mencapai
tujuan di atas adalah skema "Common Effective Preferential Tariff"
(CEPT). Anggota ASEAN memiliki pilihan untuk mengadakan pengecualian produk
dalam CEPT dalam tiga kasus:
- Pengecualian sementara
- Produk pertanian sensitif
- Pengecualian umum (Sekretariat ASEAN, 2004)
Namun
sepertinya pilihan itu tidak diimplementasikan. Kini, kehadiran China dalam
kancah perekonomian ASEAN memberikan nuansa dan tantangan baru bagi
negara-negara di kawasan itu tak terkecuali Indonesia. Perjanjian CAFTA itu
pada akhirnya berdampak cukup serius bagi jalannya perekonomian dan perdagangan
di kawasan ASEAN. China menjadi pemegang kekuatan ekonomi dan aktor perdagangan
yang mulai mendominasi dan menajamkan pengaruh ekonominya di ASEAN. Alhasil,
China lah yang memegang kendali dan kontrol. Bisa dikatakan China memperoleh
keuntungan mutlak dengan kuantitas produk yang membludak dan membanjiri kawasan
ASEAN dengan kualitas yang cukup bagus. China memang cerdas dan cerdik dalam
menentukan produk-produk apa yang mampu mengisi dan meramaikan pangsa pasar
ASEAN.
Produk
China yang banyak diminati khususnya oleh masyarakat Indonesia mendapat tempat
yang memang menjanjikan. Tak ayal Indonesia menjadi sasaran empuk bagi China
untuk terus mengepakkan sayapnya. Hasilnya, Indonesia yang juga sudah ikut
meratifikasi perjanjian CAFTA menjadi keteteran menghadapi China. Indonesia
memang belum begitu siap menghadapi tekanan seperti ini. Lain halnya dengan
Singapura atau Malaysia yang memang sudah mempunyai basis ekonomi kuat. Mereka siap
bersaing dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi nasionalnya. Namun, tidak
dengan Indonesia. Memang, secara infrastruktur Indonesia tak mau kalah; tapi
manajerial ekonomi, perdagangan, industri, dan lainnya belum begitu optimal.
Dalam
keadaan carut–marutnya industri nasional, bisa dibilang Indonesia “percaya diri”
menyongsong pemberlakuan CAFTA, per 1 Januari 2010. Lantas, apa yang akan
terjadi dengan dunia industri, khususnya industri kecil di tanah air? Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan, sejumlah kawasan industri
terancam gulung tikar dengan pemberlakuan CAFTA ini. Jika dilogika China sudah
mempersiapkan sejak 10 tahun lalu, sedang Indonesia baru dalam hitungan bulan.
Matangnya
persiapan China terlihat dari murahnya harga produk dan besarnya kapasitas
produksi mereka sehingga membanjiri negara lain termasuk Indonesia, sejak dua
tahun lalu. Pendek kata China tinggal genjot produksi saja. Sedangkan Indonesia
morat-marit menghadapi serbuan produk China. Jangankan bisa masuk China, produk
Indonesia terancam ditinggal rakyatnya sendiri. Seperti yang kita ketahui
masyarakat Indonesia cenderung lebih melirik produk China yang lebih murah.
Jadi dapat dikatakan bahwa dari segi produksi nasional, Indonesia kewalahan
menhgadapi CAFTA.
CAFTA
juga mengancam industri kecil menengah. Selian itu akan menyebabkan terjadinya
deindustrialisasi (kemunduran industri) di Indonesia. Siap-siap Indonesia akan
berubah menjadi negara trader
(pedagang) bukan negara industri.
Bagi ekonom, perdagangan bebas ASEAN-China selain membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah bersaing, juga akan menyebabkan melonjaknya jumlah pengangguran. Pengusaha Indonesia yang tak mampu bersaing dengan China akan gulung tikar minimal mengurangi kapasitas produksinya. Dalam neraca perdagangan Indonesia–China, tahun lalu saja Indonesia sudah mencatat defisit US$ 4 miliar. Terbesar di sektor nonmigas.
Bagi ekonom, perdagangan bebas ASEAN-China selain membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah bersaing, juga akan menyebabkan melonjaknya jumlah pengangguran. Pengusaha Indonesia yang tak mampu bersaing dengan China akan gulung tikar minimal mengurangi kapasitas produksinya. Dalam neraca perdagangan Indonesia–China, tahun lalu saja Indonesia sudah mencatat defisit US$ 4 miliar. Terbesar di sektor nonmigas.
Sebenarnya
sudah jauh-jauh hari pemerintah diingatkan akan dampak perdagangan bebas
Asean-China, bahwa perjanjian itu akan banyak menimbulkan mudharat. Namun
pemerintah tetap tidak menggubris dan tetap jalan terus dengan pendiriannya. Hasilnya,
perdagangan pemerintah pun mengalami defisit besar-besaran. Pemerintah kalah
telak menghadapi serbuan invasi bisnis China yang deras tersebut. Adapun total
defisit perdagangan dengan China dari Januari-Mei 2010 mencapai US $ 2,11
miliar.
Sedangkan
untuk perhitngan defisit di Mei saja, Indonesia mengalami defisit US $ 530 juta.
Tak hanya perdagangan China yang defisit, beberapa kerjasama dengan
negara-negara pun ikut mengalami koreksi, di antaranya Thailand sebesar USS
1,51 miliar, disusul Malaysia sebesar USS 202,6 juta, dan Australia sebesar USS
738,1 juta.
Masyarakat
kita mengalami ketergantungan dengan produk negara-negara tadi. Contohnya
dengan China, Indonesia sangat suka dengan barang-barang elektroniknya. Sementara
itu, untuk negara Thailand, konsumen Indonesia suka menggunakan benih atau
produk pertanian. Sedangkan, Australia yang kaya akan barang tambang dan daging
sapi, ikut menyumbangkan defisit perdagangan bagi Indonesia. Pasalnya,
komoditas tersebut sering dipasok Indonesia.
Dalam jangka
pendek perdagangan bebas ini akan membuat angka pengangguran membengkak ke
level di atas 9,5%. Pasalnya, sekitar 700 jenis produk yang diproduksi di dalam
negeri diprediksi akan "hilang" karena kalah bersaing dengan produk China.
Hal
ini disebabkan karena perdagangan bebas akan memperburuk sektor manufaktur di
Indonesia. Celakanya, baru beberapa pekan ini tujuh instansi mulai menghitung
kemungkinan daya tahan industri manufaktur kita. Padahal, sudah jelas, dalam
jangka pendek akan membuat perusahaan yang tidak efisien bangkrut. Selain itu,
akibat barang impor lebih murah, volume impor barang konsumsi pun naik,
sehingga menghabiskan devisa negara dan membuat nilai tukar rupiah menjadi
melemah.
Perusahaan
juga akan menahan biaya produksi melalui penghematan penggunaan tenaga kerja
tetap. Sehingga job security tenaga
kerja menjadi rapuh dan angka pengangguran meningkat. Padahal, industri
merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam menyerap tenaga kerja. Situasi
ketenagakerjaan ini akan menjadi penyakit kronis yang merapuhkan fundamental
ekonomi. Indonesia juga akan mengalami neto negatif yang tidak hanya merugikan
industri dan ketenagakerjaan, tapi juga penerimaan negara dari pajak.
Pemerintah
sebaiknya melakukan negosiasi ulang kesepakatan ini, terutama untuk sektor yang
belum siap. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyiapkan industri domestik
agar lebih kompetitif dengan produk China dengan memberikan kemudahan dalam
bentuk pendanaan dan langkah strategis lainnya. Jika tidak, jangankan bisa
meluaskan pasar ke China atau negara tetangga lainnya, menjadi tuan rumah di
negeri sendiri saja belem tentu bisa.
Saran
para ekonom seyogyanya segera dilaksanakan. Pasalnya, importir produk tekstil China
saja sudah bersiap-siap mengincar Pasar Tanah Abang dan Pasar Turi menjadi
basis distribusí produk mereka pasca diterapkannya CAFTA ini. Pada tahap awal
para importir akan membeli satu lantai di Tanah Abang dan Pasar Turi untuk
memasarkan produk-produk mereka ke seluruh Indonesia. Lama kelamaan kemungkinan
China akan memperluas pasarnya di tempat-tempat itu tak dapat ditolak lagi.
Lagi dan lagi, pedagang Indonesia lah yang akan merasa dirugikan.
Selain
itu produsen dan importir tekstil China juga akan memberikan dukungan
pembiayaan bagi pedagang yang menjual produk mereka di Tanah Abang dan Pasar
Turi. Selanjutnya, mereka akan bertindak sebagai importir, grosir, dan
distributor. Jadi, produk tekstil yang lebih dulu dihantam, setelah itu garmen.
Pertanyaannya, sekali lagi, apakah CAFTA akan mengubah Indonesia dari negara produsen
menjadi negara trader (pedagang)?
Atau jauh lebih buruk lagi, kita hanya menjadi bangsa konsumen yang tak mampu
memproduksi sendiri? Waktu yang akan membuktikannya.
Terlepas
dari semua itu, walaupun sekarang ini perekonomian China merupakan tujuan
investasi jangka pendek yang sangat menarik, namun investor juga sangat
berhati-hati terhadap kemungkinan meletusnya balon perekonomian China tersebut.
Para investor setiap saat siap untuk mencabut modalnya dan lari dari China, dan
itu sangat berbahaya bagi perekonomian China, dan dunia.
Untuk
itu, yang terpenting adalah marilah kita mulai memperbaiki diri guna
berkembangnya perekonomian dalam negeri. Tak perlu muluk-muluk dengan program
yang belum pasti terealisasi. Namun, muluk-muluk dalam hal memperbaiki,
menggali, dan mengeksplor lebih dalam lagi potensi yang kita miliki, yang
Indonesia miliki. Seperti yang telah disebut, tak selamanya China akan berada
pada eksistensi level yang tinggi. Semua negara punya kesempatan dan potensinya
sendiri. Indonesia pun sebenarnya juga mampu menunjukkan tajinya dalam
perekonomian dan perdagangan internasional, tidak hanya di kawasan AFTA maupun
CAFTA namun juga di level dunia. Namun, tentu banyak yang harus dipersiapkan
dan diperkuat lagi dalam stuktur ekonomi negara ini. Inilah tugas kita, demi
Indonesia yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar