Minggu, 08 Januari 2012

PERAN INDONESIA SEBAGAI PEMIMPIN ASEAN DALAM MENGHADAPI CHINA-AFTA



Dalam konteks ASEAN, KTT Ke-18 memiliki arti penting bilamana petinggi ASEAN berhasil mengambil keputusan-keputusan bersama guna mendorong penyelesaian tuntas atas berbagai masalah serius yang tengah dihadapi bersama. Misalnya pelaksanaan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) dan konflik (perang) Thailand-Kamboja yang dipicu masalah perbatasan wilayah kedua negara.
            Kalah bersaing, kenyataannya pelaksanaan ACFTA selama hampir 18 bulan terakhir lebih cenderung menimbulkan problem serius ketimbang menjadi bagian solusi persoalan ekonomi sebagian anggota ASEAN yang tidak siap penuh menyambutnya, semisal Indonesia. Membanjirnya beragam produk Tiongkok di Indonesia, seiring pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas itu berdampak negatif bagi sejumlah produk di tanah air.
            Produk furnitur, tekstil, garmen, sepatu, dan barang-barang rumah tangga kita terdesak di pasar domestik akibat serbuan barang serupa asal Tiongkok. Kalangan pengusaha garmen, tekstil, perabot rumah tangga, dan furnitur Indonesia menjerit karena kalah bersaing di rumah sendiri dengan pengusaha Tiongkok yang produk-produknya membanjiri pasar kita.
Perekonomian China memang sedang pada fase yang stabil dan terus berkembang. Kini sebagian besar mata dunia tertuju pada China. Dimulai pada awal era 1980-an China  mengalami tidak kurang daripada keajaiban ekonomi. Namun saat ini China merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Dengan GDP sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya.
Para investor keuangan dunia melihat bahwa perekonomian China masih menjanjikan memberikan penghasilan yang tinggi terhadap investasi keuangan jangka pendek yang mereka tanamkan. Sektor riil perekonomian China masih mampu menopang pertumbuhan sektor keuangan. Terbukti bahwa dana jangka pendek mengalir deras ke China. Neraca perdagangan dan neraca modal China terus mengalami surplus yang sangat positif.
Bisnis China pun berkembang di banyak sektor. Ekspansi ke banyak negara selalu menjadi agenda rutin China untuk menambah lahan investasinya. Aspek terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa China yang khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran China sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia), pasar terbesar dunia, China selalu akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan bisnisnya, kini China semakin melangakah mantap dengan adanya perjanjian China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA). China semakin mempunyai kesempatan lebar untuk mengepakkan perekonomian dan bisnisnya menjadi yang tereksis di dunia. Sebelum adanya CAFTA, perekonomian ASEAN didominasi oleh kekuatan ekonomi dari negara maju dan negara besar seperti Singapura, Malaysia, Thailand, juga Indonesia. Itulah AFTA, hanya negara-negara di kawasan ASEAN saja yang bermain dan berperan. Indonesia pun menjadi salah satu kekuatan yang mempunyai pengaruh cukup besar mengingat struktur dan pertumbuhan ekonominya merupakan yang cukup kuat di ASEAN.
Berawal dari AFTA sebenarnya perbaikan serta prospek perdagangan dan ekonomi kawasan ASEAN akan mulai diformulasikan pada sistem yang lebih siap lagi dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan halangan non-bea dalam ASEAN serta menarik investasi asing langsung ke ASEAN adalah langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan itu. Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema "Common Effective Preferential Tariff" (CEPT). Anggota ASEAN memiliki pilihan untuk mengadakan pengecualian produk dalam CEPT dalam tiga kasus:
  • Pengecualian sementara
  • Produk pertanian sensitif
  • Pengecualian umum (Sekretariat ASEAN, 2004)
Namun sepertinya pilihan itu tidak diimplementasikan. Kini, kehadiran China dalam kancah perekonomian ASEAN memberikan nuansa dan tantangan baru bagi negara-negara di kawasan itu tak terkecuali Indonesia. Perjanjian CAFTA itu pada akhirnya berdampak cukup serius bagi jalannya perekonomian dan perdagangan di kawasan ASEAN. China menjadi pemegang kekuatan ekonomi dan aktor perdagangan yang mulai mendominasi dan menajamkan pengaruh ekonominya di ASEAN. Alhasil, China lah yang memegang kendali dan kontrol. Bisa dikatakan China memperoleh keuntungan mutlak dengan kuantitas produk yang membludak dan membanjiri kawasan ASEAN dengan kualitas yang cukup bagus. China memang cerdas dan cerdik dalam menentukan produk-produk apa yang mampu mengisi dan meramaikan pangsa pasar ASEAN.
Produk China yang banyak diminati khususnya oleh masyarakat Indonesia mendapat tempat yang memang menjanjikan. Tak ayal Indonesia menjadi sasaran empuk bagi China untuk terus mengepakkan sayapnya. Hasilnya, Indonesia yang juga sudah ikut meratifikasi perjanjian CAFTA menjadi keteteran menghadapi China. Indonesia memang belum begitu siap menghadapi tekanan seperti ini. Lain halnya dengan Singapura atau Malaysia yang memang sudah mempunyai basis ekonomi kuat. Mereka siap bersaing dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi nasionalnya. Namun, tidak dengan Indonesia. Memang, secara infrastruktur Indonesia tak mau kalah; tapi manajerial ekonomi, perdagangan, industri, dan lainnya belum begitu optimal.
            Dalam keadaan carut–marutnya industri nasional, bisa dibilang Indonesia “percaya diri” menyongsong pemberlakuan CAFTA, per 1 Januari 2010. Lantas, apa yang akan terjadi dengan dunia industri, khususnya industri kecil di tanah air? Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan, sejumlah kawasan industri terancam gulung tikar dengan pemberlakuan CAFTA ini. Jika dilogika China sudah mempersiapkan sejak 10 tahun lalu, sedang Indonesia baru dalam hitungan bulan.
            Matangnya persiapan China terlihat dari murahnya harga produk dan besarnya kapasitas produksi mereka sehingga membanjiri negara lain termasuk Indonesia, sejak dua tahun lalu. Pendek kata China tinggal genjot produksi saja. Sedangkan Indonesia morat-marit menghadapi serbuan produk China. Jangankan bisa masuk China, produk Indonesia terancam ditinggal rakyatnya sendiri. Seperti yang kita ketahui masyarakat Indonesia cenderung lebih melirik produk China yang lebih murah. Jadi dapat dikatakan bahwa dari segi produksi nasional, Indonesia kewalahan menhgadapi CAFTA.
            CAFTA juga mengancam industri kecil menengah. Selian itu akan menyebabkan terjadinya deindustrialisasi (kemunduran industri) di Indonesia. Siap-siap Indonesia akan berubah menjadi negara trader (pedagang) bukan negara industri.
Bagi ekonom, perdagangan bebas ASEAN-China selain membuat banyak industri nasional gulung tikar karena kalah bersaing, juga akan menyebabkan melonjaknya jumlah pengangguran. Pengusaha Indonesia yang tak mampu bersaing dengan China akan gulung tikar minimal mengurangi kapasitas produksinya. Dalam neraca perdagangan Indonesia–China, tahun lalu saja Indonesia sudah mencatat defisit US$ 4 miliar. Terbesar di sektor nonmigas.
Sebenarnya sudah jauh-jauh hari pemerintah diingatkan akan dampak perdagangan bebas Asean-China, bahwa perjanjian itu akan banyak menimbulkan mudharat. Namun pemerintah tetap tidak menggubris dan tetap jalan terus dengan pendiriannya. Hasilnya, perdagangan pemerintah pun mengalami defisit besar-besaran. Pemerintah kalah telak menghadapi serbuan invasi bisnis China yang deras tersebut. Adapun total defisit perdagangan dengan China dari Januari-Mei 2010 mencapai US $ 2,11 miliar.
            Sedangkan untuk perhitngan defisit di Mei saja, Indonesia mengalami defisit US $ 530 juta. Tak hanya perdagangan China yang defisit, beberapa kerjasama dengan negara-negara pun ikut mengalami koreksi, di antaranya Thailand sebesar USS 1,51 miliar, disusul Malaysia sebesar USS 202,6 juta, dan Australia sebesar USS 738,1 juta.
            Masyarakat kita mengalami ketergantungan dengan produk negara-negara tadi. Contohnya dengan China, Indonesia sangat suka dengan barang-barang elektroniknya. Sementara itu, untuk negara Thailand, konsumen Indonesia suka menggunakan benih atau produk pertanian. Sedangkan, Australia yang kaya akan barang tambang dan daging sapi, ikut menyumbangkan defisit perdagangan bagi Indonesia. Pasalnya, komoditas tersebut sering dipasok Indonesia.
Dalam jangka pendek perdagangan bebas ini akan membuat angka pengangguran membengkak ke level di atas 9,5%. Pasalnya, sekitar 700 jenis produk yang diproduksi di dalam negeri diprediksi akan "hilang" karena kalah bersaing dengan produk China.
            Hal ini disebabkan karena perdagangan bebas akan memperburuk sektor manufaktur di Indonesia. Celakanya, baru beberapa pekan ini tujuh instansi mulai menghitung kemungkinan daya tahan industri manufaktur kita. Padahal, sudah jelas, dalam jangka pendek akan membuat perusahaan yang tidak efisien bangkrut. Selain itu, akibat barang impor lebih murah, volume impor barang konsumsi pun naik, sehingga menghabiskan devisa negara dan membuat nilai tukar rupiah menjadi melemah.
            Perusahaan juga akan menahan biaya produksi melalui penghematan penggunaan tenaga kerja tetap. Sehingga job security tenaga kerja menjadi rapuh dan angka pengangguran meningkat. Padahal, industri merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam menyerap tenaga kerja. Situasi ketenagakerjaan ini akan menjadi penyakit kronis yang merapuhkan fundamental ekonomi. Indonesia juga akan mengalami neto negatif yang tidak hanya merugikan industri dan ketenagakerjaan, tapi juga penerimaan negara dari pajak.
            Pemerintah sebaiknya melakukan negosiasi ulang kesepakatan ini, terutama untuk sektor yang belum siap. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyiapkan industri domestik agar lebih kompetitif dengan produk China dengan memberikan kemudahan dalam bentuk pendanaan dan langkah strategis lainnya. Jika tidak, jangankan bisa meluaskan pasar ke China atau negara tetangga lainnya, menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja belem tentu bisa.
            Saran para ekonom seyogyanya segera dilaksanakan. Pasalnya, importir produk tekstil China saja sudah bersiap-siap mengincar Pasar Tanah Abang dan Pasar Turi menjadi basis distribusí produk mereka pasca diterapkannya CAFTA ini. Pada tahap awal para importir akan membeli satu lantai di Tanah Abang dan Pasar Turi untuk memasarkan produk-produk mereka ke seluruh Indonesia. Lama kelamaan kemungkinan China akan memperluas pasarnya di tempat-tempat itu tak dapat ditolak lagi. Lagi dan lagi, pedagang Indonesia lah yang akan merasa dirugikan.
            Selain itu produsen dan importir tekstil China juga akan memberikan dukungan pembiayaan bagi pedagang yang menjual produk mereka di Tanah Abang dan Pasar Turi. Selanjutnya, mereka akan bertindak sebagai importir, grosir, dan distributor. Jadi, produk tekstil yang lebih dulu dihantam, setelah itu garmen. Pertanyaannya, sekali lagi, apakah CAFTA akan mengubah Indonesia dari negara produsen menjadi negara trader (pedagang)? Atau jauh lebih buruk lagi, kita hanya menjadi bangsa konsumen yang tak mampu memproduksi sendiri? Waktu yang akan membuktikannya.
            Terlepas dari semua itu, walaupun sekarang ini perekonomian China merupakan tujuan investasi jangka pendek yang sangat menarik, namun investor juga sangat berhati-hati terhadap kemungkinan meletusnya balon perekonomian China tersebut. Para investor setiap saat siap untuk mencabut modalnya dan lari dari China, dan itu sangat berbahaya bagi perekonomian China, dan dunia.
            Untuk itu, yang terpenting adalah marilah kita mulai memperbaiki diri guna berkembangnya perekonomian dalam negeri. Tak perlu muluk-muluk dengan program yang belum pasti terealisasi. Namun, muluk-muluk dalam hal memperbaiki, menggali, dan mengeksplor lebih dalam lagi potensi yang kita miliki, yang Indonesia miliki. Seperti yang telah disebut, tak selamanya China akan berada pada eksistensi level yang tinggi. Semua negara punya kesempatan dan potensinya sendiri. Indonesia pun sebenarnya juga mampu menunjukkan tajinya dalam perekonomian dan perdagangan internasional, tidak hanya di kawasan AFTA maupun CAFTA namun juga di level dunia. Namun, tentu banyak yang harus dipersiapkan dan diperkuat lagi dalam stuktur ekonomi negara ini. Inilah tugas kita, demi Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar